Kakiku melangkah….
Entah ke mana…
Aku hanya ingin melangkah...meninggalkan tempat itu. Aku benci berada di sana.
Aku menyusuri jalan, masih tak tahu mana yang aku tuju. Aku hanya merasa lega berada jauh dari rumah. Aku tak suka berada di rumah.
Kini aku berada di sebuah lapangan luas, tak jauh dari rumahku. Lapangan itu sepi di sakung hari nan panas ini. Terik matahari tak kenal ampun menyerang kulitku. Namun aku tak peduli. Aku merasa tenang di sana.
Aku memandang lapangan tersebut. Namun tatapanku kosong. Jiwaku tak ada di sana. Jiwaku telah terbang entah ke mana, melanglang buana ke negeri nun jauh di sana. Ke tempat di mana semuanya berbeda.
”Ani ngapain di sini?” sapa salah seorang tetanggaku yang kebetulan lewat.
Aku hanya membalas pertanyaan tersebut dengan senyuman dan gelengan kepala satu kali. Tandanya, tak ada hal yang perlu aku ceritakan pada orang tersebut.
Maka orang itu pun meninggalkanku sendiri menikmati kesendirianku. Aku kembali menjatuhkan pandanganku pada padang rumput yang pendek yang berada di hadapanku. Mataku tertuju pada sebuah daun yang berkilauan karena basah. Aku tak habis pikir, kenapa daun itu bisa basah di tengah teriknya matahari sakung itu. Ah, aku tak benar-benar sedang memikirkan hal itu. Jiwaku telah melayang ke rumah. Apa yanng dilakukan oleh ibuku, ya?
Aku jarang berbicara dengan ibuku. Setakup pulang, ibu selalu memarahiku atas ketidakberesan rumah. Atas segala sesuatu yang salah, sang ibu selalu menyalahkanku. Itulah yang membuatku tidak betah tinggal di rumah.
Lalu ke manakah ayah? Ayahku tak jauh beda dengan ibuku. Bahkan, jauh lebih sibuk. Ayahku bekerja di luar kota. Tapi setakup hari harus pulang-pergi dari rumah. Yang pasti, saat pulang...ayah harus mendapatkan pelayanan yang terbaik. Air hangat untuk mandi serta makanan harus sudah sakup. Setelah itu aku pasti tidur.
Aku bosan hidup seperti ini. Aku ingin lari...lari dari semuanya. Aku ingin mati...
”Astaghfirullahalazhiim...” gumamku sambil menutup mataku.
”Apa yang kaupikirkan, Ani?” dan setetes demi setetes air mataku jatuh.
Aku sedih...
Kapan ini akan berakhir?
Namun kadang ku bersyukur. Ya, aku bersyukur Allah telah memberiku masalah-masalah ini. Aku banyak sekali belajar. Dengan diam dan melihat. Dengan hanya menjadi bayang-bayang yang tak terlihat di rumah.
Kuputuskan untuk kembali ke rumah dengan segala resikonya. Aku kembali menyusuri jalan di komplek perumahan nan megah ini. Kadang terpikir olehku. Kenapa orang berpikir memiliki rumah megah? Toh ia akan kembali ke dalam sebuah lubang yang besarnya tak lebih dari 2x1m. Toh semua ini tak akan ia bawa mati. Apa sebenarnya yang mereka cari? Sampai mereka menelantarkan anak-anak mereka di rumah nan megah itu. Hingga sang anak tak ada yang memperhatikan, kosong dari kasih sayang orangtua. Lalu mereka bertindak sekehendak hati mereka. Mereka terbiasa melakukan apa yang mereka inginkan. Mereka mencari pelarian atas keabsenan perhatian orangtua mereka. Mereka terbiasa meminta. Mereka tak mau tahu penderitaan orang lain. Bagaimana bisa? Tak ada yang mengajari mereka...
Bodoh sekali, kupikir. Lihat para ibu itu...mereka sekolah tinggi-tinggi, bahkan ada yang sampai S3. Mereka menjadi guru, menjadi dosen, bahkan professor yang hebat. Ia tularkan semua ilmu mereka...pada siapa? Pada anak-anak orang lain! Pada anak mereka? Nonsens...mereka percaya penuh kepada pihak sekolah, guru les, dan tempat-tempat kursus. Padahal apa yang mereka lakukan di sana? Tak banyak yang benar-benar serius menempuh pendidikannya. Banyak dari mereka adalah pembangkang-pembangkang tulen! Tak tahu etika, moral tak punya. Bagaimana bisa? Siapa yang mengajari mereka? Pembantu yang lulusan SD itu?
”Assalamu’alaikum...” kusampaikan salam saat membuka pintu rumah.
Rumah ini...serasa asing bagiku. Bukan bangunan rumah itu....tetapi atmosfer rumah yang dingin...aku tak suka.
”Ariani dari mana saja? Ibu cari-cari dari tadi!” ibu menyeru dari kamarnya.
Aku diam saja.
”ANI?! Ani yang pulang, kan? Ani ke sini!” teriaknya lagi.
Aku berjalan lambat-lambat menuju kamar ibu. Dan seperti biasa...ibu sibuk dengan laptopnya.
”Ani tolong ibu. Kamu belikan adekmu kornet sapi dan chicken nugget di supermarket biasanya, dia tadi minta dibelikan tapi ibu nggak ada waktu dan Mbak Sari masih seterika”
Ibu memberikan uang Rp 50.000,- padaku.
”Sisanya terserah, kamu mau beli apa” pungkasnya.
Aku diam dan mengambil uang itu. Aku tak ingin membeli apa-apa. Uang itu akan kutabung saja. Mungkin suatu hari nanti aku bisa keluar dari rumah ini dengan uang tabunganku itu. Ini bukan hanya persoalan perasaan. Ada hak anak yang dilanggar oleh orangtuanya. Ada kewajiban yang tak dikerjakan oleh ibu sebagai seorang ibu dan pengatur rumah tangga. Ya, tugas utamanya...mendidik anak-anaknya. Tak cukup hanya dengan perintah dan larangan. Tanpa pengawasan, tanpa perhatian.
Aku berjalan sedikit lebih jauh. Aku tak ingin ke supermarket biasanya. Aku ingin ke supermarket yang agak jauh. Biar bisa lama-lama sedikit.
Aku menoleh kanan-kiri. Rumah-rumah megah dan sepi itu...bagaikan kuburan-kuburan megah. Mewah, tapi penghuninya seakan telah mati, hampir tak ada aktivitas berarti. Interaksi dengan tetangga pun hampir tidak pernah. Mungkin hanya bapak-bapak yang masih menyempatkan diri sholat di masjid komplek kami yang sempat berbicara dengan tetangganya. Selain itu...entahlah...mereka mungkin sudah mati.
BRAK!!!Tak sempat kumenoleh...saat kumenyebrang jalan....tiba-tiba tubuhku terhempas... rasanya sakit sekali. Pandanganku kabur. Aku mencium bau anyir di sekitar tubuhku. Aku tak tahu bau apa itu. Seperti bau darah segar yang keluar dari jariku saat aku teriris cutter. Bau yang ini lebih menyengat.
Tubuhku...
Entahlah...
Ada seseorang yang mengangkatku...
Ramai sekali di sekitarku...
Apa yang mereka kerjakan?
Apa yang mereka lakukan kepadaku....
Kesadaranku makin hilang...
Dan...
Aku terbangun di atas sebuah bangsal rumah sakit. Di sebuah kamar pribadi. Kurasa VIP. Bau anyir itu sudah hilang. Kini bau obat-obatan yang menyengat hidungku. Aku terbaring dengan selang-selang yang aku tak tahu fungsinya. Satu yng kurasakan, SAKIT! Sakit di sekujur tubuhku. Rasanya benar-benar menyiksa.
Aku heran...
Kenapa Allah tak mematikan aku saja?
Tapi...bagaimana rasanya mati?
Hampir mati saja sebegini sakitnya...
Belum lagi bila di dalam kubur aku ditanya....
Dan mungkin...
Disiksa...
Bagaimana rasanya?
Pasti jauh lebih mengerikan...
Aku tak bisa membayangkan...
Aku menoleh ke kiri dan ke kanan...
Ibu tak ada...
Yang ada hanya adikku, Rizal. Ia sedang tertidur pulas di sofa dengan selimut menutupi tubuhnya. Aku ingin memeluknya...aku sayang sekali padanya. Dia hampir saja kehilangan diiku. Aku satu-satunya yang ia punya di rumah yang memperhatikan dia. Kalau aku tak ada? Dengan siapa dia nanti? Iya, ya...kenapa aku tak pernah berpikir ke sana?
Allah...aku belajar sesuatu hari ini...
Engkaulah yang menggenggam jiwaku...
Kapan pun Kau ingin...
Kau bisa hentikan detak jantung ini...
Dan segala pintu taubat pun telah tertutup...
Segala amal akan terputus...
Allah, teralalu sering aku mengeluh...tanpa mencari solusi untuk ini semua...
Allah...
”Ani sudah sadar?” kudengar suara ibu
Aku tersenyum karena aku tak bisa berkata apa pun, tenggorokanku tercekat...rasanya tak bisa mengeluarkan suara. Ibu langsung memegang tanganku. Kulihat matanya berkaca-kaca. Aku hanya tersenyum. Betapapun aku kesal pada sikap ibu...aku tak mampu untuk marah padanya. Apalagi membuatnya khawatir seperti itu.
”A...ni...ngg...ak...pa...pa...” kupaksakan untuk bicara.
Kulihat perlahan ibu menangis. Aku tak kuasa melihatnya. Aku sangat menyayangi ibu. Aku tidak mau melihatnya sedih.
”Ini salah Ibu, Nak...salah Ibu...” ujarnya dengan berlinangan air mata.
Aku tersenyum dan menggeleng. Lama sekali tak kurasakan kehangatan seperti ini di rumah.
”Ani sudah sadar, Bu?” kali ini suara ayah.
Ayah? Ini kan bukan hari Minggu...di waktu-waktu seperti ini ayah seharusnya masih ada di kantor.
”Sudah, Yah...tapi...” ibu memeluk ayah. Kini ibu sesenggukan di dalam dekapan ayah.
”Kenapa, Bu? Kan Ani sudah sadar...”
”Ibu merasa bersalah, Yah...Ibu jarang memperhatikan mereka” tutur ibu pelan.
”Semoga ada yang bisa kita ambil dari sini...Ibu...sekarang lihatlah sendiri...saat Ibu tidak ada...anak-anak jadi terlantar...beginilah jadinya...Ayah juga merasa Ayah terlalu sibuk...yah...kita harus berbenah, Bu...” tutur ayah lembut.
Aku tersenyum melihat mereka berdua. Tak apalah...sakit di sekujur tubuhku ini...bila itu bisa membuat keluargaku menjadi hangat. Aku tak keberatan...walaupun...yah....sakitnya memang menyiksa...aku tak bisa bohong. Tapi, aku bahagia.